Pagi ini terlihat mendung. Hujan mengguyur tanah kota
ini, tampak warna-warni pemandangan dari siswa-siswi yang masuk ke sekolah.
Mereka memakai jaket, ada yang memakai jas hujan, namun yang paling aneh, tak
ada yang memakai payung. Mungkin tidak biasa bagi anak seusia kami memakai
payung, mereka sepertinya lebih memilih basah kuyub daripada membawa payung,
termasuk saya.
Bel berbunyi, gerbang sebentar lagi akan melangkah
menghalangi para siswa yang akan masuk. Mereka berlarian sebelum itu terjadi,
sayapun sama. Hari ini saya kesiangan. Biasanya dia pun kesiangan, teman
sekelasku. Namun hari ini dia masih tidak nampak, sudah hari ke-5 dia tak hadir
di sekolah.
Biasanya,
bila kududuk di ujung bangku ini, aku bisa melihat raut wajahnya yang begitu
serius dan semangat belajar, kecuali untuk hari kelima ini. Dia sepertinya selalu
memandangku. Guru sedang menerangkan di depan, dia memandang ke arah guru.
Namun ketika guru berjalan ke belakang, dia malah seperti memandang ke arahku.
Aku tahu dia memang memandangku dengan berbeda. Itulah dia Fera, bukan orang
yang spesial juga bagiku. Namun baginya, mungkin aku orang yang amat spesial.
Sepertinya dia sakit, lima hari sebelumnya aku melihat wajahnya terlihat amat
pucat. Aku tak bertanya apapun padanya, diapun sama. memang yang kami lakukan
setiap harinya hanya saling bertemu, kemudian tersenyum. Hanya itu mungkin.
Terkadang saat melihat wajahnya, sepertinya ada iba yang
sulit dijelaskan. Mengapa aku merasa tak enak hati bila melihat bangku kosong
yang seharusnya dia tempati. Aku tahu dia sakit, namun kami sekelas belum
sempat menjenguknya, minggu ini full pemadatan untuk persiapan UN. Lelah juga
sebenarnya. Namun apa boleh buat. Aku jalani saja, biarkan air mengalir.
Terkadang sebelum tidur, kulepaskan kelelahanku dengan berbaring, smsan dengan
orang yang kusayangi, sambil menunggu balasan, aku terdiam melamun.
Fera berdiri, kemudian duduk kembali. Dia seperti
kebingungan. Kemudian dia berdiri kembali, melangkah ke arahku sambil membawa
kertas folio yang penuh dengan tulisan.
“Ini”, dia tersenyum. “Terima kasih ya”, jawabku dengan
senyuman kembali. Dia sepertinya merasa tak biasa bila berada di depanku,
sepertinya. Dia hanya membalas senyumanku, kemudian langsung kembali ke
bangkunya. Sepertinya dia telah berusaha keras untuk menyelesaikan tugasku tadi
malam. Tugas yang amat menumpuk, melambai-lambai butuh perhatianku, namun malah
diperhatikan oleh Fera. Aku sebenarnya tak ingin membebaninya, namun sepertinya
dia bersikeras, memaksaku untuk memberikan tugasku kepadanya saja.
Aku tak tahu sebesar apa perasaan kagumnnya kepadaku. Sepertinya setengah mati dia
menyayangiku, namun setengah hati pun tak kuberikan padanya. Dia orang yang
lembut. Namun aku tahu, aku tak mencintainya. Tapi terkadang aku memberikan
harapan padanya.
Tak banyak yang kami lakukan bersama. Mungkin yang paling
sering adalah bernyanyi bersama. Suaranya biasa saja, namun cukup khas juga.
Aku dapat merasakan kebahagiannya ketika bisa dekat denganku, namun akupun bisa
merasakan kesedihannya ketika aku dekat dengan kekasihku. Pernah suatu hari dia
tak ingin melihat wajahku sama sekali.
“Kenapa?”, tanyaku.
“Ga apa-apa, maaf kalau saya banyak salah =’D”
“Tiada yang salah, hanya aku manusia bodoh”.
“Aku yang salah, kalaulah...”
“Kalaulah apa? Sudahlah jangan fikirkan apa-apa.”
Dia hanya terdiam sunyi, tak menjawab apapun.
“Sudahlah. Cape banget aku ngeliat Kamu kaya gitu!” aku
seperti marah padanya.
“Maaf ya, aku akan coba melupakanmu lagi. Semoga bisa ya =’)”
“Mau kaya gitu aja? Emang harus sampai kaya gitu ya?
Emang ga bisa gitu kalau cuman deket?” ucapku sepertinya sedikit emosi juga.
“Melihatmu adalah sebuah luka =’) Maaf ya”
“Maaf untuk apa? sudahlah, ga ada yang salah. Biasa aja!
Never give up !”
“Iya;)”
Hanya itu balasan darinya, tak ada yang tahu kenyataan
hatinya seperti apa, namun dia memang tertutup. Sepertinya dia amat sakit hati,
berhari-hari dia tampak muram. Aku hanya iba padanya, memberi harapan padanya.
Padahal aku tak mencintainya, lagipula aku telah lama memiliki kekasih yang
lain. Bahkan setelah putus dengan pacarku itu, aku berhasil move on, namun
bukan padanya. Sejak saat itu, dia sepertinya lebih memilih untuk tidak
mengenalku.
Yang bisa aku berikan padanya hanyalah petikan nada alat
musik untuk mengiringinya dalam menyanyi. Namun aku yakin, dengan itu saja dia
bisa bahagia. Kebahagiaan yang berbeda dengan yang lainnya. Aku tak tahu pasti
apa yang dia rasakan, namun dia pernah berkata bahwa dia amat menyayangiku.
Akupun sama, tapi cukup berbeda. Aku berkata itu bukan karena kenyataannya
seperti itu, tapi karena aku menganggap bahwa kata-kata itu dapat membuatnya
bahagia.
“Dika, cepatlah kamu harus ikut” ucap Rianty dengan
begitu memaksanya. Aku meninggalkannya begitu saja, aku saat ini ada janji
dengan pacarku. Sambil berjalan, akupun berkata.
“Tapi aku ada perlu”, ucapanku langsung dipotong oleh Winni.
“Fera sekarang kritis. Mau kau biarkan begitu saja”, dia
berkata sambil menangis.
Semua siswa di kelas terdiam.
“Kritis bagaimana?” tanya Ferdi dengan begitu
khawatirnya. Winni dan Rianty adalah teman Fera yang paling dekat. Siswa kelas
mengerti, pasti ada yang sedang mereka sembunyikan tentang Fera. Maklumlah, Fera
orang yang cukup aktif di berbagai kegiatan di sekolah, namun dia amat tertutup
bila menyangkut dengan hal-hal pribadinya.
“Sebenernya ...” ucap Winni. “Sstt, sudahlah Winni. Jika
memang dia tak mau tak apa”. Aku tak begitu mendengar jelas apa yang mereka
katakan, aku meneruskan langkahku. Ucapan Rianty dipotong oleh Winny. “Mau
sampai kapan?! Sampai Fera pergi meninggalkan kita? Katakan saja! Aku tak kuat bila harus
mengatakannya secara langsung” bentak Winny dengan air matanya menetes, tepat
di depan mata Rianty.
“Maaf Winny. Baiklah sebenarnya begini semuanya. Fera
sedang sakit parah di rumah sakit, kemungkinan nyawanya tak tertolong.” ucap
Rianty.
“Dikaaaaaaaaa!” teriak
Winni. Aku tahu sekali watak Rinni, dia jarang marah. Baru sekali ini
aku mendengar teriakannya yang seperti langit bergemuruh. Akupun menoleh.
“Kamu tahu kan yang telah dilakukan Fera. Kamu tahu kan
perasaannya?! Dan semua siswa kelas ini pun pasti tahu. Dia korbanmu! Tapi dia
terlihat sabar kan!” teriak Winny seperti kesal.
“Maksudnya apa sih?! Jelas dong kalo ngomong!” jawabku
dengan emosi juga. Aku merasa tak enak bila dia berkata tak jelas seperti itu
sambil menyentakku.Aku melangkah kembali meninggalkan kelas. Pacarku sepertinya
telah menunggu cukup lama. Aku harus segera pergi.
“Fera di ujung kematiannya! Kamu mau pergi, silakan! Semoga
ini menjadi hal yang paling menyakitkan hati Fera, untuk yang terakhir kalinya”
teriak anak kelas yang lain, aku tak tahu dia siapa tapi terdengar seperti
suara seorang lelaki.
Aku meneruskan langkahku. Aku pun mengerti apa yang
mereka katakan. Aku terus berjalan. Aku berfikir bahwa mereka bercanda,
berbohong agar aku tidak kabur dan bisa kerja kelompok dengan mereka. Maklum
saat itu pekerjaan kelompok masih banyak sekali yang belum selesai.
Aku sedang asik bersama pacarku. Handphoneku bergetar,
telepon dari Fera. Tumben dia menelopon kembali. Sudah lama sekali dia tidak
menghubungiku. Telepon yang pertama tak kuangkat, lagipula biasanya bila dia
menelopon, dia hanya ingin mendengar aku mengucapkan sesuatu, setelah itu dia
menutup teleponnya. Kedua kalinya dia menelepon kembali.
“Angkat dulu telepon dari siapa sih?”
“Iya, Yang. Bentar ya diangkat dulu”, ucapku.
“Dika”, ucap Fera dengan suara yang sedikit berbeda.
“Apa Fera?”
“Bisa kesini ga. Bentar aja.”
“Kemana?”
“Entar di smsin. Mau ya kesini?”
“Emang ada apa Fera?”
“Ga ada apa-apa. Please
kesini ya. Aku ga bakalan minta apapun ko. Ga bakalan minta kamu mainin gitar,
atau ngobrol berdua denganku, atau ngucapin ultah buatku, atau apa deh dari
semua yang pernah aku minta”
“Mmm, insya Allah aja ya”
“Yaudah deh, ga juga ga apa-apa sih. Takut ngerepotin”.
“Maaf ya”
“Iya ga apa-apa”
“Kalau gitu udah dulu ya. Assalamu’alaikum”
“Waalaikumsalam”, jawabku. Fera tidak langsung menutup
teleponnya beberapa detik, akupun sama. Terdengar jeritan yang menyakitkan. Aku
kaget dan berbicara kembali pada Fera, namun teleponnya telah ditutup.
Kulihat handphoneku, ada pesan. Pesan itu datang saat
Fera menelepon. Ternyata sms dari Fera. Aku tak sempat membukanya.
“Telepon dari siapa, Yang?”
“Bukan siapa-siapa. Udah deh mending lanjutin lagi nyanyi
ya” ucapku.
“Hmmm okey”.
Sekitar satu jam aku dan pacarku bernyanyi bersama. Aku
pulang ke rumah sekitar setelah adzan ashar. Aku lupa belum membaca pesan dari
Fera. Saat sampai di rumah akupun membaca isi pesan itu.
Rumah sakit umum dr. Jaya, ruang UGD
lantai 2. Aku tunggu ya, Dika. #Fera =)
Aku terkejut
melihat pesan itu. Aku teringat akan kata-kata Winni dan Rianty tadi siang.
Sepertinya apa yang mereka katakan benar. Sore itu hujan besar, kilat dan
halilintar datang bergantian. Aku tak peduli sebesar apa hujan saat itu. Aku
lekas memakai helm merahku, aku bahkan lupa tak memakai jaket apalagi jas
hujan. 15 km jarak dari rumah hingga rumah sakit aku tak peduli. Aku teringat
akan hal-hal yang pernah aku lakukan padanya, dan apa yang telah dia lakukan
untukku. Perlakuan yang sungguh bertolak belakang sebenarnya.
Sekitar petang menuju magrib aku tiba di sana. Di depan
UGD berdiri seseorang berhijab merah muda. Ya itu Fera. Aku berlari ke arahnya
sambil menangis.
“Kamu sakit parah?!” tanyaku dengan begitu khawatirnya.
“Engga, siapa bilang. Aku baik-baik aja ko”. jawabnya
sambil tersenyum.
“Syukurlah. Kata anak-anak kamu sedang kritis di rumah
sakit”
“Mm tak usah dengarkan mereka. Usap itu air mata. Kenapa
coba harus nangis. Baru kali ini kulihat kamu menangis di depanku” ucap Fera
dengan senyum yang membahagiakan.
“Yah kamu itu. Ga kok, aku ga nangis. Mmm tapi sempet
nagis sih. Khawatir sama kamu.”
“Ternyata kamu bisa khawatir juga ya padaku. Makasih ya”.
jawab Fera.
“Mm iyalaaah. Masa iya aku biasa aja kalau kamu sakit
parah”.
“Udah deh, gausah ngasih harapan lagi. Lagipula aku ga
apa-apa, aku sehat.” ucapnya sambil tertawa.
“Engga! Ini asli”, teriakku dengan sedikit kesal.
“Iya deh, percaya. Maaf ya”, ucap Fera.
“Maaf untuk apa sih? Udahlah jangan mikirin yang
aneh-aneh mulu”.
“Maaf karna belum bisa lupa sama Dika”, ucapnya. Matanya
sedikit berkaca-kaca. Airmatanya jatuh bersamaan dengan menetesnya air hujan di
atas atap rumah sakit.
“Kamu kenapa Fera?”. ucapku khawatir. Dia hanya tersenyum
kemudian pingsan. Aku memeluknya. Tiba-tiba datang teman-teman sekelasku
bersama orang tua Fera.
“Astagfirulloh, dari tadi kami mencari Fera, ternyata
disini. Nak Dika kenapa membiarkan Fera ke sini” ucap ibu Fera.
Aku hanya terdiam. Aku tak tahu mengapa aku terdiam. Aku
seakan membeku memeluk tubuh Fera yang membujur kaku. Aku tak begitu ingat apa
yang kulakukan. Yang pasti hal terakhir yang paling kuingat adalah senyuman
terakhir Fera saat berada di pelukanku. Itulah senyuman Fera yang terakhir
kalinya yang telah kulihat di sepanjang hidupku.
Hari ini 40 hari setelah kepergian Fera. Aku masih
terpukul. Aku tak mencintainya, tapi aku merasa kehilangan sesuatu yang amat
berharga yang telah kusia-siakan. Aku hanya bisa berharap, semoga saja dia
bahagia di sana. Semoga dia dipertemukan dengan orang yang bisa
membahagiakannya di kehidupan yang baru. Aku tahu dan amat menyadari, aku hanya
iba padamu. Tak ada cinta di dalam hati ini padanya, tapi mengapa aku merasakan
kerinduan? Rindu akan pandangan wajahmu yang sedang menatapku. Rindu akan
segala hal yang telah kau lakukan padaku. Aku merindukanmu saat ini, Fera.
Selamat tinggal, tenang di alam sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar