Hanya Tuhan yang Mencintaiku
“Aku suka kamu. Mau ga jadi pacar
aku?”, ucap Rendy
“Maaf ya. Aku ga bisa”. Rini
sepertinya ragu dengan kesungguhan Rendy.
“Kenapa?” jawab Rendy, murung.
“Ga apa-apa sih. Ga cocok aja. Udah
dulu ya aku ada perlu”. Rini pergi meninggalkan Rendy. Rendy hanya terdiam.
Itulah tolakan yang ke-24 perempuan ke-24 yang telah ia tembak dari sejak kelas
IX SMP hingga saat ini. Dia kini bekerja sebagai tukang ojeg. Dia di drop out
oleh SMA karena tidak bisa membayar SPP.
Kehidupannya amat jauh berbeda
dengan khalayak biasanya. Kedua orang tuanya telah meninggal. Kedua orang
tuanya adalah anak tunggal. Nenek dan kakeknyanya tentu telah lama meninggal
dunia sebelum orang tuanya. Dia hidup sendiri sejak ayahnya meninggal karena
kecelakaan saat dia sedang duduk di kelas X SMA. Ibunya telah meninggalkannya
saat dia masih bayi, saat melahirkannya. Dia tinggal di sebuah rumah kecil.
Prestasinya tidak begitu baik di kelas, kalaulah prestasinya baik, dia pasti
bisa meneruskan SMA nya sampai lulus dan bahkan bisa meneruskan kuliah. Namun
mungkin itulah takdir hidupnya.
Setiap hari yang dia lakukan adalah
menarik ojek. Uangnya dia gunakan untuk mabuk-mabukan di malam hari dibarengi
dengan permainan judi. Hampir setiap malam dia seperti itu. Beberapa tahun
kegiatan itu dia kerjakan.
“Bro, minta minum lagi dong!”, ucap
Rendy.
“Yah, lo bisanya cuman minta. Beli
dong!” jawab Jono.
“Gue gapunya duit. Gue kalah judi
mulu. Cepet minta, gue ga kuat, Bro!”, Rendy pun mengambil minuman itu secara
paksa.
“Woy, punya gue sedikit lagi”,
teriak Jono. Dia sepertinya emosi. Rendi malah terus meminum minumannya. Jono
semakin kesal, dalam keadaan mabuk dia menghajar Rendy. Rendy pun sama, mereka
dalam keadaan mabuk, tentu terjadi perkelahian yang sulit dilerai. Namun pada
akhirnya, Rendy kabur karena Jono membawa senjata tajam.
Rendy berlari entah kemana. Saat itu
sudah sangat larut malam. Tanpa dia sadar, dia menaiki sebuah mobil truk.
Mungkin karena mabuk berat, dia tak menyadari itu sama sekali. Diapun dibawa
oleh truk itu entah sampai dimana. Barulah dia menyadari setelah siang hari.
Truk telah tiba di sebuah perkampungan. Dia terbangun lalu membuka matanya. Di
depannya berdiri seorang wanita berhijab hijau daun, terlihat khawatir.
“Heh, siapa kamu? Dimana saya?” ucap
Rendy terkejut
“Kamu yang siapa. Kenapa ada di truk
bapak saya?” ucap perempuan itu.
“Di dalam truk? Siapa yang di dalam
truk?” tanya Rendy.
“Ya kamulah!” sentak perempuan tadi.
“Yah, biasa aja juga, Neng. Gausah
nyentak”, ucap Rendi.
“Habisnya kamu itu aneh. Kamu habis
mabuk ya? Bau minuman keras!”, serongot perempuan itu.
“Hehe, iya Neng”, ucap Rendy tertawa
kecil.
“Malah ketawa. Udah sana pergi.
Pulang ke rumahmu!” teriak perempuan berhijab hijau daun itu.
“Yah, Neng. Aku ga tau ini dimana.
Bisa anterin ga?”, ucap Rendi tertawa kecil lagi. Tampaknya perempuan tadi
merasa lebih kesal lagi.
“Enaaak aja! Pulang aja sendiri”,
teriaknya. Diapun pergi meninggalkan Rendy.
Rendy bingung harus melakukan apa.
Dia hanya berjalan menelusuri perkampungan itu. Hingga malam hari yang sunyi,
dia masih berjalan. Diapun tertidur di sebuah pos kamling. Saat itu hujan turun
dengan begitu derasnya. Nampaknya Rendy sakit, dia tidak minum malam ini dan
mungkin itulah yang membuatnya kesakitan. Dia telah kecanduan berat dengan
minuman kerasnya.
“Astagfirullohal’adzim. Bangun hey.
Yah kayaknya kamu sakit”, ucap perempuan yang tadi siang Rendy temui.
“Eh ada Neng. Ga apa-apa kok Neng.
Malem-malem gini kok masih di luar rumah”, ucap Rendy sambil berbaring kesakitan.
“Udahlah ayo iku aku. Masih kuat
berjalan kan?” ucap perempuan itu.
“Mm lumayan lah Neng. Eh iya Neng
namanya siapa?” tanya Rendy lemas.
“Panggil aja Viny, udahlah ayo
gausah banyak bicara. Ikut aku”. Viny pun membawa Rendy dengan begitu susah payahnya.
Hingga tibalah mereka di sebuah pesantren.
“Kamu tinggal di sini saja.
Pesantren ini milik ayah saya. Kamu bisa jadi santri di sini untuk beberapa
waktu”. ucap Viny.
Sejak saat itulah Rendy tinggal di
pesantren. Dia mendapatkan banyak ilmu di sana. Walaupun sebelumnya dia selalu
saja di ejek oleh teman-temannya karena dia pecandu narkoba dan suka
minum-minuman keras. Terkadang kecanduan itu muncul ketika Rendy sedang
mengaji. Tentulah teman-teman Rendy menjadi tahu bahwa rendi adalah seorang pecandu.
Di sisi lain, Viny bersikap baik
kepada Rendy. Hampir setiap pagi dia memasakkan sarapan pagi untuk Rendy.
Tentulah Rendy lama-lama merasakan kenyamanan bisa dekat dengan Viny. Dialah
salah satu penolong di hidupnya. Sejak saat Viny membawanya ke pesantren, Rendy
menjadi lebih mengenal ilmu agama. Dia semakin bisa merasa dekat kepada Sang
Pencipta.
Hari berganti hari, suasana
perkampungan yang begitu statis namun menyejukan terus Rendy rasakan di
pesantren. Dia kini telah berada di jalan yang benar. Rendy menjadi lelaki yang
soleh. Namun warga sekitar dan para teman-temannya masih saja menjauhi Rendy
karena terkadang rasa kecanduan Rendy selalu saja muncul. Ini dikarenakan Rendy
amat telah menjadi pecandu berat bahkan hingga paranoid. Walaupun begitu, Rendy
tak peduli dengan sikap orang-orang di sekitarnya. Yang penting dia bisa
menjadi orang yang pantas dihargai di mata Allah.
“Ini saya bawakan kembali
sarapannya”, ucap Viny. Tepat di depan mesjid Rendy berdiri. Dia baru saja
selesai mengerjakan shalat duha.
“Makasih ya, Viny”
“Iya sama-sama”
“Ngomong-ngomong, sejakbeberapa
bulan yang lalu, kau selalu saja membawakanku sarapan pagi. Memangnya mengapa
kau melakukan itu. Kau kan tahu bahwa orang-orang di sekitar ini tidak begitu
senang dengan keberadaanku.” ucap Rendy.
“Justru itu, aku tak begitu suka
dengan sikap mereka yang membedakan orang lain. Semoga saja mereka sadar ketika
melihatku selalu bersikap baik padamu”, jelas Viny.
“Kamu itu berhati baik ya. Terima
kasih ya Viny”
“Tak usah berterima kasih. Tentu ini
yang harus saya lakukan” ucap Viny.
Rendy terdiam. Hati kecilnya ingin
mengatakan sesuatu. “Viny...”
“Ya?” jawab Viny.
“Aku mencintaimu” ucap Rendy, to the point.
“Ga lucu deh” ucap Viny sambil
tertawa.
“Aku serius Viny. Maukah kau menjadi
istrku?”, Rendy memegang tangan Viny.
“Maaf
bukan muhrim, Rendy”, ucap Viny. Rendi pun mengucap istigfar lalu melepas
tangan Viny.
“Maaf, tapi aku tidak mencintaimu”,
ucap Viny dengan wajah cemberut.
“Baiklah Viny. Tak apa,baguslah
kalau kau jujur. Maaf ya aku mau membereskan mesjid”, ucap Rendy sambil
tersenyum, walaupun di dalam hatinya dia amat merasa sakit.
Viny hanya terdiam. Dia tak tahu
harus berkata apa. Dia pun bingung, dia merasa tak enak hati kepada Rendy.
Sejak saat itu, Viny tak pernah lagi membawa sarapan pagi untuk Rendy. Rendy
masih selalu tak dihargai oleh warga sekitarnya.
Saat shalat tahajud, Rendy berdo’a.
“Ya
Allah. Ampunilai segala dosa-dosa hamba ini. Hamba tahu hamba sunguuh dilumuri
oleh kotornya dosa. Tapi saya mohon Ya Allah, mengapa kehidupan saya seperti
ini? Ampunilai dosaku Ya Allah. Jika memang semua ini adalah ganjaran atas
segala dosa-dosa yang telah aku lakukan, aku akan terima Ya Allah”
Malam itu, Rendy amat merasakan
kesakitan. Paranoidnya semakin menjadi-jadi lagi, dia amat telah kecanduan.
Rasa sakitnya sudah tak bisa dia tahan lagi. Di malam yang sunyi itu, dalam
sujudnya dia meneteskan air mata. Sambil tersenyum, di dalam hati dia berkata. “Tak apalah, Ya Allah. Bila dalam kehidupan
yang fana ini saya tak mendapat cinta yang kebanyakan orang dapat. Saya hanya
bersyukur atas segala cinta yang telah Kau berikan pada saya. Aku harap, malam
ini aku bisa bertemu denganMu. Satu-satunya Zat yang telah menungguku dengan
cinta yang luar biasa”
Mungkin seperti itulah takdir
kehidupan Rendy. Malam itu, malam terakhir kehidupannya. Setelah apa yang telah
dia alami, dalam keadaan membujur kaku, dia masih dapat tersenyum. Tersenyum
akan cinta sejati yang telah menghiasi detik-detik terakhir kehidupannya, cinta
dari Sang Pencipta, Allah Subhanahuwata’ala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar