Sabtu, 08 Maret 2014

CONTOH CERPEN

Hanya Tuhan yang Mencintaiku
            “Aku suka kamu. Mau ga jadi pacar aku?”, ucap Rendy
            “Maaf ya. Aku ga bisa”. Rini sepertinya ragu dengan kesungguhan Rendy.
            “Kenapa?” jawab Rendy, murung.
            “Ga apa-apa sih. Ga cocok aja. Udah dulu ya aku ada perlu”. Rini pergi meninggalkan Rendy. Rendy hanya terdiam. Itulah tolakan yang ke-24 perempuan ke-24 yang telah ia tembak dari sejak kelas IX SMP hingga saat ini. Dia kini bekerja sebagai tukang ojeg. Dia di drop out oleh SMA karena tidak bisa membayar SPP.
            Kehidupannya amat jauh berbeda dengan khalayak biasanya. Kedua orang tuanya telah meninggal. Kedua orang tuanya adalah anak tunggal. Nenek dan kakeknyanya tentu telah lama meninggal dunia sebelum orang tuanya. Dia hidup sendiri sejak ayahnya meninggal karena kecelakaan saat dia sedang duduk di kelas X SMA. Ibunya telah meninggalkannya saat dia masih bayi, saat melahirkannya. Dia tinggal di sebuah rumah kecil. Prestasinya tidak begitu baik di kelas, kalaulah prestasinya baik, dia pasti bisa meneruskan SMA nya sampai lulus dan bahkan bisa meneruskan kuliah. Namun mungkin itulah takdir hidupnya.
            Setiap hari yang dia lakukan adalah menarik ojek. Uangnya dia gunakan untuk mabuk-mabukan di malam hari dibarengi dengan permainan judi. Hampir setiap malam dia seperti itu. Beberapa tahun kegiatan itu dia kerjakan.
            “Bro, minta minum lagi dong!”, ucap Rendy.
            “Yah, lo bisanya cuman minta. Beli dong!” jawab Jono.
            “Gue gapunya duit. Gue kalah judi mulu. Cepet minta, gue ga kuat, Bro!”, Rendy pun mengambil minuman itu secara paksa.
            “Woy, punya gue sedikit lagi”, teriak Jono. Dia sepertinya emosi. Rendi malah terus meminum minumannya. Jono semakin kesal, dalam keadaan mabuk dia menghajar Rendy. Rendy pun sama, mereka dalam keadaan mabuk, tentu terjadi perkelahian yang sulit dilerai. Namun pada akhirnya, Rendy kabur karena Jono membawa senjata tajam.
            Rendy berlari entah kemana. Saat itu sudah sangat larut malam. Tanpa dia sadar, dia menaiki sebuah mobil truk. Mungkin karena mabuk berat, dia tak menyadari itu sama sekali. Diapun dibawa oleh truk itu entah sampai dimana. Barulah dia menyadari setelah siang hari. Truk telah tiba di sebuah perkampungan. Dia terbangun lalu membuka matanya. Di depannya berdiri seorang wanita berhijab hijau daun, terlihat khawatir.
            “Heh, siapa kamu? Dimana saya?” ucap Rendy terkejut
            “Kamu yang siapa. Kenapa ada di truk bapak saya?” ucap perempuan itu.
            “Di dalam truk? Siapa yang di dalam truk?” tanya Rendy.
            “Ya kamulah!” sentak perempuan tadi.
            “Yah, biasa aja juga, Neng. Gausah nyentak”, ucap Rendi.
            “Habisnya kamu itu aneh. Kamu habis mabuk ya? Bau minuman keras!”, serongot perempuan itu.
            “Hehe, iya Neng”, ucap Rendy tertawa kecil.
            “Malah ketawa. Udah sana pergi. Pulang ke rumahmu!” teriak perempuan berhijab hijau daun itu.
            “Yah, Neng. Aku ga tau ini dimana. Bisa anterin ga?”, ucap Rendi tertawa kecil lagi. Tampaknya perempuan tadi merasa lebih kesal lagi.
            “Enaaak aja! Pulang aja sendiri”, teriaknya. Diapun pergi meninggalkan Rendy.
            Rendy bingung harus melakukan apa. Dia hanya berjalan menelusuri perkampungan itu. Hingga malam hari yang sunyi, dia masih berjalan. Diapun tertidur di sebuah pos kamling. Saat itu hujan turun dengan begitu derasnya. Nampaknya Rendy sakit, dia tidak minum malam ini dan mungkin itulah yang membuatnya kesakitan. Dia telah kecanduan berat dengan minuman kerasnya.
            “Astagfirullohal’adzim. Bangun hey. Yah kayaknya kamu sakit”, ucap perempuan yang tadi siang Rendy temui.
            “Eh ada Neng. Ga apa-apa kok Neng. Malem-malem gini kok masih di luar rumah”, ucap Rendy sambil berbaring kesakitan.
            “Udahlah ayo iku aku. Masih kuat berjalan kan?” ucap perempuan itu.
            “Mm lumayan lah Neng. Eh iya Neng namanya siapa?” tanya Rendy lemas.
            “Panggil aja Viny, udahlah ayo gausah banyak bicara. Ikut aku”. Viny pun membawa Rendy dengan begitu susah payahnya. Hingga tibalah mereka di sebuah pesantren.
            “Kamu tinggal di sini saja. Pesantren ini milik ayah saya. Kamu bisa jadi santri di sini untuk beberapa waktu”. ucap Viny.
            Sejak saat itulah Rendy tinggal di pesantren. Dia mendapatkan banyak ilmu di sana. Walaupun sebelumnya dia selalu saja di ejek oleh teman-temannya karena dia pecandu narkoba dan suka minum-minuman keras. Terkadang kecanduan itu muncul ketika Rendy sedang mengaji. Tentulah teman-teman Rendy menjadi tahu bahwa rendi adalah seorang pecandu.
            Di sisi lain, Viny bersikap baik kepada Rendy. Hampir setiap pagi dia memasakkan sarapan pagi untuk Rendy. Tentulah Rendy lama-lama merasakan kenyamanan bisa dekat dengan Viny. Dialah salah satu penolong di hidupnya. Sejak saat Viny membawanya ke pesantren, Rendy menjadi lebih mengenal ilmu agama. Dia semakin bisa merasa dekat kepada Sang Pencipta.
            Hari berganti hari, suasana perkampungan yang begitu statis namun menyejukan terus Rendy rasakan di pesantren. Dia kini telah berada di jalan yang benar. Rendy menjadi lelaki yang soleh. Namun warga sekitar dan para teman-temannya masih saja menjauhi Rendy karena terkadang rasa kecanduan Rendy selalu saja muncul. Ini dikarenakan Rendy amat telah menjadi pecandu berat bahkan hingga paranoid. Walaupun begitu, Rendy tak peduli dengan sikap orang-orang di sekitarnya. Yang penting dia bisa menjadi orang yang pantas dihargai di mata Allah.
            “Ini saya bawakan kembali sarapannya”, ucap Viny. Tepat di depan mesjid Rendy berdiri. Dia baru saja selesai mengerjakan shalat duha.
            “Makasih ya, Viny”
            “Iya sama-sama”
            “Ngomong-ngomong, sejakbeberapa bulan yang lalu, kau selalu saja membawakanku sarapan pagi. Memangnya mengapa kau melakukan itu. Kau kan tahu bahwa orang-orang di sekitar ini tidak begitu senang dengan keberadaanku.” ucap Rendy.
            “Justru itu, aku tak begitu suka dengan sikap mereka yang membedakan orang lain. Semoga saja mereka sadar ketika melihatku selalu bersikap baik padamu”, jelas Viny.
            “Kamu itu berhati baik ya. Terima kasih ya Viny”
            “Tak usah berterima kasih. Tentu ini yang harus saya lakukan” ucap Viny.
            Rendy terdiam. Hati kecilnya ingin mengatakan sesuatu. “Viny...”
            “Ya?” jawab Viny.
            “Aku mencintaimu” ucap Rendy, to the point.
            “Ga lucu deh” ucap Viny sambil tertawa.
            “Aku serius Viny. Maukah kau menjadi istrku?”, Rendy memegang tangan Viny.
            “Maaf bukan muhrim, Rendy”, ucap Viny. Rendi pun mengucap istigfar lalu melepas tangan Viny.
            “Maaf, tapi aku tidak mencintaimu”, ucap Viny dengan wajah cemberut.
            “Baiklah Viny. Tak apa,baguslah kalau kau jujur. Maaf ya aku mau membereskan mesjid”, ucap Rendy sambil tersenyum, walaupun di dalam hatinya dia amat merasa sakit.
            Viny hanya terdiam. Dia tak tahu harus berkata apa. Dia pun bingung, dia merasa tak enak hati kepada Rendy. Sejak saat itu, Viny tak pernah lagi membawa sarapan pagi untuk Rendy. Rendy masih selalu tak dihargai oleh warga sekitarnya.
            Saat shalat tahajud, Rendy berdo’a.
            Ya Allah. Ampunilai segala dosa-dosa hamba ini. Hamba tahu hamba sunguuh dilumuri oleh kotornya dosa. Tapi saya mohon Ya Allah, mengapa kehidupan saya seperti ini? Ampunilai dosaku Ya Allah. Jika memang semua ini adalah ganjaran atas segala dosa-dosa yang telah aku lakukan, aku akan terima Ya Allah”
            Malam itu, Rendy amat merasakan kesakitan. Paranoidnya semakin menjadi-jadi lagi, dia amat telah kecanduan. Rasa sakitnya sudah tak bisa dia tahan lagi. Di malam yang sunyi itu, dalam sujudnya dia meneteskan air mata. Sambil tersenyum, di dalam hati dia berkata. “Tak apalah, Ya Allah. Bila dalam kehidupan yang fana ini saya tak mendapat cinta yang kebanyakan orang dapat. Saya hanya bersyukur atas segala cinta yang telah Kau berikan pada saya. Aku harap, malam ini aku bisa bertemu denganMu. Satu-satunya Zat yang telah menungguku dengan cinta yang luar biasa”
            Mungkin seperti itulah takdir kehidupan Rendy. Malam itu, malam terakhir kehidupannya. Setelah apa yang telah dia alami, dalam keadaan membujur kaku, dia masih dapat tersenyum. Tersenyum akan cinta sejati yang telah menghiasi detik-detik terakhir kehidupannya, cinta dari Sang Pencipta, Allah Subhanahuwata’ala.
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar