Minggu, 22 Desember 2013

lanjutan Sebening Ketulusan Hati 1

 GITAR
Akhirnya ku dapat beradaptasi dengan lingkungan baruku. Aku mulai dikenal di kelasku. Akupun mulai membuka diri untuk berteman dengan orang lain, walaupun sebelumnya aku tak pernah mau mendekati orang lain, lagipula ketika mereka butuh, mereka akan mendatangiku. Aku masih sangat polos, aku masih belum hafal nama semua teman di kelasku. Semua itu sangat sulit. 
Bu Ani, guru biologiku menyuruhku untuk mengkolektifkan foto seluruh siswa kelasku agar beliau bisa mngahafalkannya. Akupun menerima, karena saat itu aku memang sangat ingin dikenal oleh guru. Entah mengapa dalam hal kecil seperti itu saja, teman-temanku sangat lelet. Aku harus mendatangi mereka satu persatu, hanya sebagian orang yang berinisiatif sendiri mengumpulkan fotonya padaku. 

Untunglah saat ini aku sudah mempunyai hp yang bisa dikatakan cukup canggih. Aku meminta foto semua temanku secara langsung. Dan tiba saat detik-detik ku meminta fotonya, aku sedikit takut menahan gerogiku di depannya. Aku seolah membisu sekejap. Aku tepaku seperti seorang yang tenggelam. Amat sulit untuk mengatakan hal yang amat kecil pun. "Mmm, Putra, boleh minta fotonya. Untuk tugas dari bu Ani" kataku sambil tersenyum. "Tentu", jawabnya dengan senyuman. Aku seakan melayang. Seperti sebuah roket yang terbang begitu cepat menembus awan menuju sinar rembulan yang begitu terang gemerlap. Akupun mendapatkan fotonya.

Seorang anak IPA, itulah sebuah nama kelas yang bisa dianggap cukup keras dan memberikan tekanan kepada otak kiri untuk selalu berfikir logistis dan matematis. Saat itu sedang marak-maraknya ulangan harian pertama, khususnya matematika. Masih amat sangat kuingat, saat itu Putra meminta Dewi untuk mengajarkannya matematika. Dan itu sempat menjadi perbincangan. Dan memang kantanya, tapi entahlah hanya perkataan orang-orang yang melintas ke telingaku, Dewi menyukai Putra. Tapi walaupun begitu aku biasa saja, toh aku hanya mengaguminya, orang lain mengaguminyapun aku tak terlalu memikirkannya. Yang pasti aku nyaman dengan perasaanku ini. Saat itu, seruan "uuuuuuuuuuu, ciye,ciye", dengan soraknya menjadi backsound saat Putra diajari matematika oleh Dewi. Nissa memfoto itu dan menyimpannya di Hpnya. Akupun ikut bersorak bahagia. Namun dalam hati kecilku berkata, "Akupun ingin mengajarimu sepertihalnya Dewi mengajarimu saat ini, Atat".....

Aku siap melewati hari-hariku. Kicauan burung, bersama dengan hembusan angin di depan halaman rumahku yang terlihat gelap namun seakan seperti fatahmorgana alam yang sudah menjadi pandangan keseharian mataku. Sekolah, seperti itulah. semuanya seakan taka ada yang perlu di dramatisir, ketika belajar, kita hanya bisa memandang sang guru, menghubungkan berbagai koneksi di sel ota kita untuk berfikir berbagai pelajaran yang segalanya dipaksakan. Bisa di andaiakn, sebenarnya otak ini seperti seorang pelari yang terus memaksakan dirinya untuk menggapai garis finish namun dengan jarak yang masih jauh, dia telah kelelahan. Namun bila kita bisa memaksakannya dan membunuh semua rasa putus asa dan malas, mengerahkan seala tenaga, kita tentu akan bisa menggapai cahaya terang yang menjadi harapan dari segala tujuan yang telah dicita-citakan. Ini hanyalah kata-kata yang tersirat di hati dan fikiranku saat memulai segala aktivitas yang harus kulalui.

Siang itu, orang-orang sibuk dengan apa yang mereka bawa, berjalan ke depan halaman sekolah untuk sejenak mengisi kekosongan perut setelah fikiran terkuras oleh berbagai hal pengetahuan. Aku hanya duduk di kelas. Aku sudah terbiasa sarapan di rumah, ke sekolah pun aku tak terlalu membutuhkan uang, lagipula aku tak jajan. Aku hanya berdiam diri di kelas, terkadang aku pergi ke halaman depan sekolah sekedar mengantar Nissa membeli makanan. Terkadang teman-temanku memberikan jajanan kepadaku. Bel masuk berbunyi. Ya, bel klasik yang bersuara tanpa harmoni sedikitpun, hanya sebuah suara instrumen piano dengan seuaranya yang khas. Biasanya orang-orang ketika mendengar bel itu langsung ke kelas, namun berbeda dengan kelasku, walaupun kelas kami berada tepat bertetanggaan dengan ruang guru, setelah bel masuk kami tidak langsung masuk. Sekedar duduk di depan pintu, tepatnya ada pula yang duduk di kolidor, berjajar, ada pula yang sibuk sendiri di kelasnya, sekedar bercanda tawa, mendengarkan musik, bahkan terkadang ada saja yang tertidur.

Aku masih sangat ingat, saat itu tak ada guru yang masuk. Kebetulan, dito, teman sekelasku membawa gitar. Gitar itu terpangpang di ujung ruangan kerajaan kami tepatnya di bagian kanan. Yah, kami menamakan kelas kami dengan nama kerajaan. Kami memberi nama kelas kami dengan sebutan Pripat Kingdom. Pripat merupakan singkatan dari prajurit ipa empat. kenpa harus prajurit? tentu saja, karena kami disini berjuang, berperang, atas dasar satu tujuan dalam suatu wadah yang kami anggap sebagai kerajaan. Selanjutnya, arti kata kingdom itu sendiri adalah kerajaan. Kami akhirnya menamai kelas kami dengan nama Pripat kingdom, yang artinya kerajaan prajurit ipa empat. Yah semoga dengan nama ini, kami lebih saling bahu membahu menggapai angan-angan kami bersama, dalam berbagai keadaan, kondisi, perbedaan pendapat, perdebatan, dan tentunya berbagai masalah lain yang siap menghadang. Apapun itu, kami harus tetap bersama. Karena jangan kira, sekolah kami memiliki banyak kegiatan yang dituntut kebersamaan dan kesabaran semua yang menjalaninya. Dan itu harus dimulai dengan hal-hal yang kecil. setidaknya, nama kelas akan membawa kami kearah persatuan.

Saat itu, seorang pria dengan wajah yang entah mengapa begitu khs bagiku, duduk di ujung ruangan, memetik setiap senar hingga menghasilkan alunan-alunan nada yang begitu indah. Aku terkesima. Kami semua berkumpul di sana. Sekedar mengisi waktu luang, kami menyanyikan lagu-lagu yang entah mengapa begitu khas bagiku, lagu-lagu yang telah lama namun lagu-lagu itu enak dinyanyikan. Seperti lagu-lagu band-band yang mulai senior bagi remaja saat ini. Yang paling aku suka saat itu adalah lagu J'rock, yang berjudul Ceria. Entah mengapa ketika aku mendengar lagu itu, membayangkan seseorang yang memiliki ruang yang spesial di hatiku, menjadi pengiring dari suara nyanyianku yang memang tak seindah alunan pita suara para penyanyi papan atas, aku merasa terinspirasi. Semangatku seolah berhimpun dalam suatu tempat, ya itulah ruang hatiku. Aku dapat merasakan indahnya musik yang dapat mempengaruhi isi hati dri setiap insan manusia. Itulah slah satu orang yang menginspirasiku untuk dapat mengerti keindahan dan semangat hidup melalui alunan nada-nada yang indah. Itulah dia, Putra. Terima kasih, sedetik saja aku mendengarkan alunan nada dari alat musik yang kau mainkan, aku dapat tersenyum bahagia. Merasakan kenyamanan yang entah seperti apa karena akupun sulit untuk mendeskripsikannya.

Tanpa sengaja, atau entah disengaja, Nissa memotret saat-saat indah itu. Ketika dia memainkan alat musik, dikelilingi oleh teman-teman sekelasku. AKu belum berani meminta foto itu untuk saat ini. Mungkin suatu saat, saat semua teman dekatku tahu, aku akan memintanya. Mungkin untuk saat ini terlalu cepat, aku erlu menunggu untuk memastikan tentang perasaan yang kurasakan. Mungkin saja perasaan ini hanyalah perasaan kagum yang semata-mata datang dengan begitu cepat dan sekejap. Namun hati kecilku berkata, menyangkal kenyataan saat ku berkata, bahwa dia memang seseorang yang sedang mengisi ruang hatiku yang sempat tak ingin kubuka untuk siapapun. AKu hanya bisa berharap, kalaupun memang ini adalah kenyataan isi hati yang sebenarnya, semoga perasaan ini dapat menuntunku ke arah yang lebih baik. Aku hanya berharap, aku dapat menjaga hatiku dan diriku ini ketitik terang di gelapnya kehidupan yang kelam ini. Aku harap...

*** 
2



Tidak ada komentar:

Posting Komentar