Rabu, 25 Desember 2013

lanjutan Sebening Ketulusan Hati 6

 TERKESIMA
Langit terhampar di atas, beterbangan banyak kupu-kupu bersama para pasangannya. Air sungai mengalir cukup deras, maklum musim hujan. Namun bersama teman setia nya, entah begitu lekatnya mereka dengan aliran air yang deras. Timbunan sampah, itulah pemandangan keduaku saat menuju sekolah, setelah pemandangan indahnya fatahmorgana halaman rumahku, walaupun terkadang rumput-rumput berjatuhan bergeletakan tertiup angin untuk beberapa hari. Hari ini, ku cukup tak enak badan. Kantung mataku terlihat sedikit, aku tidur larut malam tadi. Biasa, mendengarkan alunan nada-nada dari speaker aktiv yang menggebu, berbagi cerita juga dengannya, walaupun hanya melalui sms. AKu bahagia bisa sedekat ini dengannya, dia ramah. Aku tahu aku tak pantas, karena dia telah memiliki tambatan hatinya. Tapi aku melangkah berdasarkan niat dalam hatiku. Ini adalah cinta dalam hati, cukup untuk mengagumi, walaupun tanpa dicintai.
Siswa-siswi sibuk melihat papan tulis di depan kelasku. Mereka menyebutnya mading, tapi aku tetap berfikir bahwa itu adalah papan tulis yang berada di luar ruangan kelas. Mungkin karena memang kenyataannya, bukan majalah yang tertulis di sana, saat itu yang banyak tertulis adalah pengumuman remidial dan daftar nilai-nilai para siswa. Kami semua sibuk. Aku pun sangat sibuk karena harus membagi waktu untuk dua kepentingan yang berbeda. Remidial atau porak?
"Kumpul pukul enam, telat 1 menit 1 push up", itulah perkataan ketua Osis. Hari itu aku tiba di sekolah pukul 7.45, tentu aku harus push up sebanyak 45kali. Ditambah setelah itu kami harus membersihkan lapangan yang akan digunakan pekan olahraga antar kelas. Namun saat pertandingan dimulai, aku tak begitu sibuk, karena biasanya yang menentukan adalah persiapan kita dalam menghadapi aktivitas yang hendak kita jalani. Saat itu banyak sekali remidial, hal yang paling laris pada masa ini adalah kertas polio. Mengapa? Guru kami biasanya memberikan perbaikan melalui tugas yang amat sangat begitu banyak menumpuk dan membuat kami hampir gila. Aku masih ingat, saat itu Putra selalu saja mengalami remidial. Entah mengapa aku tak mau! Aku tak tega membayangkan dirinya terus menulis tugas yang begitu banyaknya. Sesekali aku membantunya, sekedar meringankan bebannya. Walau dia tak mau, terkadang aku selalu memaksanya. Ya, tetapi melalui sms. Aku tak berani berbicara banyak di hadapannya. Aku amat sangat bawel padanya saat di sms, bukan di kenyataan. Pada dunia sebenarnya, kami biasa saja, seolah tak terjadi apa-apa. Tapi tak apalah, aku sangat bahagia bisa membantunya. Aku tak peduli bila harus menulis semalaman, hanya untuknya. Walaupun pada saat malam itu dia tidak hadir, aku tak apa. Aku bahagia bisa membantunya. 
Kami semakin dekat, namun tak banyak yang tahu. Aku hanya bercerita tentangnya kepada wati. Dia teman paling dekat bagiku pada saat itu. Dia mengerti apa yang kurasakan. Terkadang dia menyemangatiku saat ku terjatuh ke dalam sumur kesedihanku. Namun, aku masih tetap bersyuku. Walaupun banyak hal yang menyakitkan di hidupku saat ku mencintai dirinya, semua itu dapat kuimbangi dengan kesejukan hatiku dari segala yang ada pada dirinya. Semoga saja dia mengerti, bahwa hati ini tulus. Cinta ini suci dan aku tak mau menodainya walau oleh setitik tinta hitam. Aku yakin, dengan menjadikannya sebagai inspirasi hidupku, apapun yang kulakukan, kelelahan bahkan kehancuran sekalipun, aku dapat melaluinya dengan senyuman.
Biasanya hari-hari pertama saja kami sibuk-sibuk sendiri. Seterusnya, kami riang gembira kembali. Malam itu, sempat aku berbincang-bincang dngannya tentang lagu-lagu. Hanya melalui sms. Kami berbagi tentang lagu kesukaan masing masing. Saat itu aku sedang sangat menyukai lagu yang berjudul cinta dalam hati. Satu hal yang kuanggap sebagai keajaiban di hidupku, adalah ketika bisa merasakan bagaimana bercanda tawa dengannya, walau secara tidak langsung. Aku duduk santai saat itu. Pripat kingdom telah bisa melewati babak penyisihan pertandingan futsal saat porak. Aku masih ingat saat itu, aku duduk di depan pintu. Dihadapanku ada kursi, kosong, tak ada siapapun. Dari kejauhan tampak seseorang berkaos olahraga futsal berwarna hitam dengan paduan sedikit-sedikit garis berwarna kuning, membawa gitar kecil. Cahaya terang seolah menyinari dirinya saat berjalan, keadaan seakan sunyi, gelap gulita, hanya dirinya yang gemilang, seakan seorang pangeran berjalan dari singgahsananya, duduk di kursi kosong yang ada dihadapanku, lalu tersenyum, Aku terdiam, terkesima, tersenyum refleks, tak sadar. Dia memetik senar gitarnya yang khas itu, suaranya amat lucu, seperti suara gitar-gitar para pengamen di jalanan. Dia hadir dengan sejuta senyuman, dia nyanyikan lagu yang berjudul cinta dalam hati. Aku tercengang, otomatis aku tak sadar, aku terbawa alunan nada nyanyian itu. Kami menyanyi bersama, ya hanya berdua. Entahlah, yang pasti aku merasa bahwa aku hanya sedang berdua dengannya, walaupun memang pada kenyataannya banyak orang di sana. Sunggu keajaiban yang entah keberapa kalinya lagi, senyumannya yang manis itu membuatku seperti layang-layang yang terbang tinggi di atas langit, dilepas oleh pemiliknya, terjatuh dengan perlahan. Inikah indahnya menyayangi seseorang? Aku tak tahu pasti. Aku hanya ingin dia tahu, bahwa hari ini aku sangat bahagia dengan kehadirannya.
Perdandingan dimulai. Kami satu-satunya kelas XI yang masuk ke babak final. Saat itu putra belum memasuki lapangan, duduk sejenak di pinggir lapang, bergantian. Aku duduk di atas panggung, bersama wati di pinggirku. Aku tak begitu peduli dengan pertandingan yang berlangsung, aku memandang terus wajahnya, tanpa henti, berkedip hanya beberapa kali, aku tak terarahkan. Dia menolehku. Aku tak berdaya, dia sepertinya tahu bahwa daritadi aku melihatnya. Seperti biasa kubuang pandanganku darinya. "Beraninya cuman melihat tanpa mau dilihat", ucap Wati sambil tersenyum. Aku tak kuasa saat itu. Aku hanya membalas perkataan iim dengan senyum gelisah.
Perdandingan perempat final selesai, sambil menunggu babak final para pemain pripat beristirahat sejenak. Dia membuka tasnya yang berada di ujung ruangan kelas. Dibawalah olehnya snack makanan ringan ukuran besar. Dia membuka itu, kemudian datang ke arahku. "Mau" sambil tersenyum. Aku terkesima kembali, aku melayangh kembali. Kami semua pun sibuk dengan makanan ringan yang ia bawa.
Permainan babak final dimulai. Kelas kami melawan kelas CO.ID, kelas XII ipa 2 yang terkenal dengan para pemain futsal yang handal dan berbakat. Putra bermain dengan begitu gesitnya di lapangan. Kesekian kalinya aku terkesima, suaraku hampir habis. Sejak tadi pagi aku terus berteriak ketika kelasku bermain. Aku tak bisa menahan teriakanku, apalagi ketika melihat puta menggiring bola. Dunia seakan lambat, semua seperti hal yang terlalu di dramatisir, namun inilah kenyataannya. Mungkin karena rasa kasih yang tak terbendung, aku bisa merasakan itu. Aku amat mencintainya, amat mencintainya. 

***
7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar