Selasa, 24 Desember 2013

lanjutan Sebening Ketulusan Hati 5

 UAS
Hari ini UAS ya? Saya siap, Ya Allah. Lancarkanlah uas saya hari ini. Tampak di sudut ruangan paling kiri, disitulah selalu saya duduk terdiam, entah di hari biasa, entah di hari uas. Maklum, saya absen terakhir. Tampak saat pandanganku ku putar, 25 derajat saja, kudapat melihat wajahnya. Entah mengapa aku merasa bahagia saat UAS, karena saat itu, aku dapat melihatnya dengan begitu dekat, tak seperti saat di kelas.

Sinar mentari menembus awan-awan di sekitar langit yang biru. Indah ketika terberai menuju ke arah pohon-pohan yang rindang, menerangi warna cat sekolahan yang berwarna orange cerah, terbagi pandangan dengan rok dan celana siswa-siswa SMA 2 Garut berwarna abu-abu. Sungguh cerah, keramaian pagi hari ini mulai tampak, ruang TU sudah penuh oleh banyak siswa yang belum menyelesaikan administrasi sedangkan mereka harus memiliki kartu tanda peserta ujian. tak seperti biasanya, kami semua masuk ke sekolah pukul 7.30. Untuk saat-saat ujian saja. Ruanganku tak jauh dari ruang guru. Kami menunggu di kolidor, seperti biasanya, walaupun bel aneh telah berbunyi. Beberapa menit setelah itu, ruangan pokja (kelompok kerja) terbuka, puluhan guru keluar bersamaan, seperti tawanan makhluk yang paling menakutkan menurut para siswa. Mereka melangkah membawa beberapa map bertuliskan nomor ruangan ujian.

"Alah, itu bu*****, bakalan susah nyontek" ucap beberapa siswa, "alah, bener banget, dulu akupun pernah diawas oleh ibu itu", tambah temannya yang lain. Keringat dingin mulai menetes, semua terdiam. Bila gurunya benar-benar killer dan senior, semua siswa tak berdaya. Tak ada sedikitpun lirikkan ke arah yang lain selain dari lembaran kertas buram bertuliskan soal-soal dan lembar jawaban yang mesti diisi oleh masing-masing pesertanya. Namun berbeda lagi bila guru yang mengawas tersebut hanya berdiam di meja singgahsananya, tanpa menceramahi setiap gerak-gerik siswa. Mereka bersantai, bisikan-bisikan setan yang menjelma menjadi bisikan nyata dari para siswa sudah terdengar tak aneh lagi. "Hey, nomor 23 katanya C", ucap pengwas. Semua tertawa, ada sajalah tingkah siswa saat ujian berlangsung. Saat ujian aku jarang sekali menoleh ke pandangan lain selain lembar soalku. Bila ingin mengetahui jawabanku, mudah saja, tinggal menunggu router penyebar data yang berada di belakangku. Ya, dia bernama maulana. Alangkah gesit dan pintarnya dia mencopy semua jawabanku, semua dibuat sama persis. Dan jawaban tersebut tentu akan menyebar ke seluruh peserta di barisanku. Sungguh membahagiakan bagi mereka yang mendapatkan jawaban dariku dengan begitu cepatnya, ya tetapi jikalau jawaban itu benar. Namun ketika aku mendapat nilai yang kurang memuaskan, kecemberutanku akan merembet terus sepanjang jalan kenangan membawa dan menyalin jawaban lembar isianku. Tak ada yang marah, mereka biasa saja. Mungkin denganku memberikan jawaban pada mereka, itu telah menguntungkan bagi mereka, daripada mereka tak mengisinya sama sekali.

Jujur saja, aku sangat bingung akan adanya metode ujian yang seperti ini adanya. Inilah kenyataan yang sebenarnya, sepintar apapun orang itu di kelas, dia akan tetap saja menanyakan setidaknya sepatah atau dua patah kata saja untuk bekerja sama saat ujian. Berjuang menghadang rintangan, menolong agar teman tak masuk ke dalam jurang penderitaan remidial yang selalu diadakan setiap sesuadah pembagian hasil ujian. Aku tak berkutik dalam mengubah sistem ini. Kenyataannya, kini nilai sebenarnya tidak terlalu diperhitungkan. Yang lebih ditekankan adalah kerja keras, usaha, dan tetesan keringat yang mengalir saat kita berjuang menghadapi semua rintangan pembelajaran di sekolah. ya, itulah tolak ukur penilaian yang sebenarnya. Mungkin memang seharusnya seperti ini yang terjadi. Semoga saja, benih ketidakjujuran ini hanya cukup sampai disini saja, jangan sampai mengalir hingga aliran yang begitu luasnya lagi, aku harap.

Mungkin sistem pendidikan akan menuai perbincangan yang sulit terselesaikan. Ku terdiam kembali, inspirasiku mulai bermunculan kembali. Masih sangat kuingat, saat itu tertulis daftar hadir yang berisi tanda tangan kehadiran peserta. Setiap akhir dari nama peserta tersebut dituliskan emoticon. Awalnya aku tak tahu itu siapa. Aku melihat banyak emoticon yang berarti mengejek yaitu berupa emot :p. Namun saat kulihat namaku, aku hanya tersenyum, dipinggir itu tertuliskan emot tertawa. Sejenak hatiku berbisik, bahwa Putra yang menuliskan itu. Namun beberapa hari, tulisan itu masih belum terungkap kejelasannya. Namun entah hari apa, salah satu pengwas melihat itu. Dia tertawa dan mungkin sedikit marah. Lalu dia menyuruh seseorang yangmenulis itu untuk menghapusnya. Dan ternyata memang benar, Putra yang menulis itu. Kelas bergemuruh oleh tawa, aku tersenyum kecil. Sesekali ku lihat ekspresi wajahnya yang polos namun menawan itu. Apalagi ketika dia kebingungan mencari jawaban, lebih lucu dari sebuah opera yang menghadirkan para bintang tamu humoris papan atas. Terima kasih karena telah hadir dalam hidupku ini, setidaknya aku dapat tersenyum dengan berbagai hal kecil darimu, namun hal itu amat berarti bagi kehidupanku.

***
6


Tidak ada komentar:

Posting Komentar